Dalam salah satu diskusi dengan rekan sesama Survey yang telah berpindah tugas di beberapa tempat, saya mencermati bahwa makin ke Barat kecenderungan masyarakat secara perilaku makin santun, walaupun ini subjektif karena berdasarkan pengalaman pribadi seseorang akan tetapi cukup untuk memberikan gambaran kepada saya tentang masyarakat secara umum di Indonesia. Dari sini saya semakin tertarik untuk berdiskusi lebih lanjut tentang tingkah laku dan sikap masyarakat setempat yang biasa dikenal dengan istilah Kearifan Lokal.
Sebagai contoh, dalam salah satu sesi tayangan Don’t Tell My Mother (20/02/2012, 22:00 WIB) episode tentang Indonesia di Nat Geo Channel, presenter acara sempat menampakkan keterkejutannya ketika mengikuti razia WH (Wilayatul Hisbah) pada malam minggu di kota Banda Aceh. saat melihat banyak pemuda dan pemudi dalam satu motor berboncengan dengan posisi duduk mendekap, sang presenter sempat bertanya kepada salah satu petugas bahwa bukankah biasanya aturan umum di wilayah pemberlakuan syariat hal seperti ini tidak boleh dilakukan? dengan berbagai argument sang WH tersebut mencoba berkelit untuk menunjukkan bahwa dia dan jajarannya telah bertindak maksimal mencegahnya.
Tetapi fakta tersebut tidak boleh dijadikan dasar analisa untuk menjeneralisasi bahwa telah terjadi degradasi perilaku pada masyarakat urban di Aceh, karena pada setiap masa dan generasi akan selalu ada individu-individu yang keluar dari mainstream diakibatkan oleh berbagai faktor seperti ketidaktahuan maupun pengabaian secara sengaja terhadap kebiasaan yang berlaku.
Menurut pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata, kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.[i]
Menurut Nurma Ali Ridwan dalam makalahnya Landasan Keilmuan Kearifan Lokal, Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu.[ii]
Menurut Nurma Ali Ridwan dalam makalahnya Landasan Keilmuan Kearifan Lokal, Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu.[ii]
Terdapat kesatuan pandangan antara definisi dan pendapat bahwa Kearifan Lokal merupakan sebuah bentuk tata aturan atau kebiasaan yang tercipta akibat adanya interaksi terus menerus antar sesama individu dalam satu wilayah teritorial karena dipengaruhi oleh tata aturan dasar tertentu. Akan tetapi tidak semua dari bagian kebiasaan ini dianggap sebagai kearifan lokal melainkan hanya yang bersifat baik semisal bijaksana, budi pekerti dan hal-hal menyangkut moral.
Meskipun diskusi kearah ini semakin sering digelar namun kita masih sulit menemukan definisi khusus bagaimana hal itu terbentuk, itu tidak lain karena seringnya pembahasan ditarik kepada kebiasaan-kebiasaan masyarakat global dimana istilah ini dipopulerkan. belum adanya satu frame tertentu ketika membahas asal muasal local wisdom ini menjadikan kesimpulan yang dihasilkan bersifat subjektif sehingga terkadang terlalu umum untuk dipakai sebagai pisau bedah kasus.
Padahal bila kembali kepada landasan di mana dia dibentuk tentu akan lebih mudah memahami apa yang dinamakan dengan local wisdom, mengingat studi tetang hal tersebut harus dimulai dari dasar yaitu masyarakat itu sendiri sebagai objeknya.
Meskipun diskusi kearah ini semakin sering digelar namun kita masih sulit menemukan definisi khusus bagaimana hal itu terbentuk, itu tidak lain karena seringnya pembahasan ditarik kepada kebiasaan-kebiasaan masyarakat global dimana istilah ini dipopulerkan. belum adanya satu frame tertentu ketika membahas asal muasal local wisdom ini menjadikan kesimpulan yang dihasilkan bersifat subjektif sehingga terkadang terlalu umum untuk dipakai sebagai pisau bedah kasus.
Padahal bila kembali kepada landasan di mana dia dibentuk tentu akan lebih mudah memahami apa yang dinamakan dengan local wisdom, mengingat studi tetang hal tersebut harus dimulai dari dasar yaitu masyarakat itu sendiri sebagai objeknya.
Masyarakat (dalam bahasa Inggris disebut society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), yang berinteraksi secara terus menerus sehingga menciptakan system yang membawahi individu-individu dalam kelompok tersebut.[iii]
Atau menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani masyarakat adalah sekelompok individu yang terikat oleh pemikiran, perasaan, dan tata aturan yang sama yang terus menerus berinteraksi atas dasar kemaslahatan bersama.[iv]
Dari sini kita dapat memahami bahwa kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat menjadi landasan dimana Kearifan lokal itu terbentuk, sehingga bukan merupakan sebuah keanehan bila komunitas masyarakat yang awalnya berhubungan dengan tata aturan agama pagan seperti Hindu akan sangat berbeda dengan kebiasaan bawaan yang ditunjukkan oleh komunitas lain yang awalnya menciptakan relasi dengan tata aturan Islam.
Sebagai contoh, rekan sesama survey saya mengatakan terdapat salah satu daerah di Kalimantan dimana dulunya ia bekerja yang menjadikan perilaku seperti minum-minum tuak dan perjodohan dengan pola ketat adalah hal lumrah dan telah menjadi kebiasaan turun temurun sehingga tidak dianggap lagi sebagai sebuah kebiasaan buruk. Namun perilaku tersebut tentu berbanding terbalik dengan persepsi masyarakat kita, karena bagi kita perilaku demikian adalah perbuatan tercela disebabkan tata aturan Islam yang membentuk kebiasaan komunitas asal tidak membolehkan hal tersebut dilakukan.
Atau menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani masyarakat adalah sekelompok individu yang terikat oleh pemikiran, perasaan, dan tata aturan yang sama yang terus menerus berinteraksi atas dasar kemaslahatan bersama.[iv]
Dari sini kita dapat memahami bahwa kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat menjadi landasan dimana Kearifan lokal itu terbentuk, sehingga bukan merupakan sebuah keanehan bila komunitas masyarakat yang awalnya berhubungan dengan tata aturan agama pagan seperti Hindu akan sangat berbeda dengan kebiasaan bawaan yang ditunjukkan oleh komunitas lain yang awalnya menciptakan relasi dengan tata aturan Islam.
Sebagai contoh, rekan sesama survey saya mengatakan terdapat salah satu daerah di Kalimantan dimana dulunya ia bekerja yang menjadikan perilaku seperti minum-minum tuak dan perjodohan dengan pola ketat adalah hal lumrah dan telah menjadi kebiasaan turun temurun sehingga tidak dianggap lagi sebagai sebuah kebiasaan buruk. Namun perilaku tersebut tentu berbanding terbalik dengan persepsi masyarakat kita, karena bagi kita perilaku demikian adalah perbuatan tercela disebabkan tata aturan Islam yang membentuk kebiasaan komunitas asal tidak membolehkan hal tersebut dilakukan.
Penyebutan Aceh yang biasanya diikuti oleh berbagai istilah sematan diantaranya Serambi Mekkah dan Tanoh Rencong mampu mejelaskan kepada kita tentang beberapa hal, Serambi Mekkah mengacu kepada kentalnya perilaku masyarakat Aceh dengan Islam sedang penyebutan Tanoh Rencong lebih kepada heroisme masyarakatnya yang disimbolkan dengan senjata tajam khas daerah dimana ruhnya juga merupakan keIslaman.
Istilah-istilah ini menunjukkan bahwa Islam dan masyarakat Aceh begitu dekat, bahkan menyebut Aceh pasti identik dengan Islam sehingga sangat jarang ditemukan orang Aceh berstatus non muslim atau bila sudah berstatus non muslim individu tersebut menjadi takut menisbatkan diri sebagai orang Aceh. Sehingga setiap penulis yang mencoba membangun suatu kerangka studi tentang masyarakat Aceh harus memulai pembahasan dengan membahas kerangka ilmu-ilmu sosial dalam mengkaji masyarakat Islam terlebih dahulu. Apalagi kemudian Aceh sendiri pernah mengalami masa-masa kegemilangan pemerintahan Islam ketika Sultan Iskandar Muda berkuasa antara tahun 1607 sampai 1636.
Hal itu tidaklah mengherankan karena sejak Islam masuk ke Aceh kira-kira abad ke 3 Hijriyah/9 Masehi mengikuti identifikasi awal masuknya Islam ke Nusantara, agama animisme yang lebih dahulu dianut masyarakatnya telah terkikis habis hingga hanya meninggalkan jejak-jejak identitas dalam seremonial adat setempat. Jadi walaupun pola yang terbentuk dikemudian hari pada masyarakatnya lambat laun berkembang menjadi kebiasaan Islami namundalam pengakuan umum tata pergaulan tersebut lebih dikenal sebagai kebiasaan masyarakat Aceh, fakta itu dapat kita lihat secara jelas didalam interaksi antar individunya tanpa perlu pengamatan menggunakan aspek epistimologis tertentu.
Maka wajar bila Aceh dan Indonesiadi sisi barat masyarakatnya terlihat lebih santun, karena memang konsekuensi dari hasil akulturasi tata aturan Islam yang pernah diberlakukan dulu, sehingga (mengacu kepada definisi syaikh Taqiyuddin an-Nabhani) pemikiran dan perasaan yang sama telah terbentuk dalam diri individu-indidu yang mendiami wilayah ini. Jadi, meskipun tata aturan yang diberlakukan dikemudian hari telah berbeda dari asal dimana masyarakatnya terbentuk persepsi asal tetap akan sulit terhapus sehingga inilah yang menjadi cikal bakal dimana Kearifan Lokal Aceh terbentuk persis seperti apa yang terlihat sekarang.
Istilah-istilah ini menunjukkan bahwa Islam dan masyarakat Aceh begitu dekat, bahkan menyebut Aceh pasti identik dengan Islam sehingga sangat jarang ditemukan orang Aceh berstatus non muslim atau bila sudah berstatus non muslim individu tersebut menjadi takut menisbatkan diri sebagai orang Aceh. Sehingga setiap penulis yang mencoba membangun suatu kerangka studi tentang masyarakat Aceh harus memulai pembahasan dengan membahas kerangka ilmu-ilmu sosial dalam mengkaji masyarakat Islam terlebih dahulu. Apalagi kemudian Aceh sendiri pernah mengalami masa-masa kegemilangan pemerintahan Islam ketika Sultan Iskandar Muda berkuasa antara tahun 1607 sampai 1636.
Hal itu tidaklah mengherankan karena sejak Islam masuk ke Aceh kira-kira abad ke 3 Hijriyah/9 Masehi mengikuti identifikasi awal masuknya Islam ke Nusantara, agama animisme yang lebih dahulu dianut masyarakatnya telah terkikis habis hingga hanya meninggalkan jejak-jejak identitas dalam seremonial adat setempat. Jadi walaupun pola yang terbentuk dikemudian hari pada masyarakatnya lambat laun berkembang menjadi kebiasaan Islami namundalam pengakuan umum tata pergaulan tersebut lebih dikenal sebagai kebiasaan masyarakat Aceh, fakta itu dapat kita lihat secara jelas didalam interaksi antar individunya tanpa perlu pengamatan menggunakan aspek epistimologis tertentu.
Maka wajar bila Aceh dan Indonesiadi sisi barat masyarakatnya terlihat lebih santun, karena memang konsekuensi dari hasil akulturasi tata aturan Islam yang pernah diberlakukan dulu, sehingga (mengacu kepada definisi syaikh Taqiyuddin an-Nabhani) pemikiran dan perasaan yang sama telah terbentuk dalam diri individu-indidu yang mendiami wilayah ini. Jadi, meskipun tata aturan yang diberlakukan dikemudian hari telah berbeda dari asal dimana masyarakatnya terbentuk persepsi asal tetap akan sulit terhapus sehingga inilah yang menjadi cikal bakal dimana Kearifan Lokal Aceh terbentuk persis seperti apa yang terlihat sekarang.
source : http://www.acehclick.com/mencermati-faktor-pembentuk-kearifan-lokal-masyarakat-aceh/
No comments:
Post a Comment